Surat Untuk Mama Tersayang

Surat Untuk Mama — Dua tahun sudah berlalu sejak kepergian Mama yang begitu tiba-tiba. Hari-hari berat aku jalani dengan susah payah. Yang terus-menerus menguras air mata. Hanya untuk menumpahkan segala emosi yang menyesakkan dada.

Surat untuk mama
Bersama Mama dan Lala, keponakanku (Agustus 2015)

Sudah lama aku ingin sekali menulis surat ini. Tapi setiap kali rasanya seperti menguak luka lama. Padahal aku tengah berupaya menyembuhkannya perlahan-lahan.

Aku percaya bahwa menulis adalah sebuah terapi jiwa. Terlebih dalam kondisi terguncang hebat. Orang di luar sana takkan pernah tahu seperti apa. Mereka tidak mengalami persis seperti kami. Yang kalau dilihat tampak luar seolah biasa saja. Bahkan senyumku selalu mengembang di setiap pertemuan dengan teman-teman.

Namun ada sesuatu yang butuh dilampiaskan. Entah itu rindu, kecewa, sedih, maupun marah. Lewat tulisan ini semoga beban itu sedikit lepas. Dan membebaskan diri dari energi negatif yang membelenggu erat.

***

Dear Mama,

Bagaimana keadaanmu di sana? Doaku semoga Mama baik-baik saja. Hari ini tepat tanggal 20 November 2017. Ini hari ulang tahunmu, Ma. Bila engkau masih bersama kami, tentu kita tengah merayakannya. Mama masak yang enak-enak. Kita berkumpul bersama dan memotong kue ulang tahun. Seraya mengucap syukur dan berdoa untuk kebaikan serta keberkahan usia.

Tetapi aku sadar betul, semua hal tadi tinggal kenangan belaka. Sudah 757 hari Mama pergi untuk selamanya. Meninggalkan duka yang tak kunjung hilang. Menyisakan hati yang hancur berkeping.

Setiap kali aku lewat di depan rumah Mama, seketika kenangan itu muncul. Kadangkala aku berharap masih melihatmu menyiram tanaman di halaman depan. Atau mencium aroma masakan dari balik jendela dapur. Bahkan sesekali aku ingin sekali menelponmu karena rindu. Ya, aku masih merasakan seolah Mama tak pernah pergi jauh.

Rumah di Sei Padang Medan
Rumah Papa dan Mama

Masih lekat pula diingatan saat aku meminta Mama memasakkan bekal untuk perjalananku bersama Abang (suami) ke Beijing. Dan aku sangat terpaksa merepotkanmu karena menitipkan tujuh ekor kucing kesayangan di rumah. Tak lupa aku memberikan sedikit uang supaya Mama bisa beli obat kalau tensinya mulai naik.

Betapa aku anak yang tak tahu diri ya, Ma. Selalu saja menyusahkanmu. Namun satu hal yang teramat sangat kusesali hingga kini. Aku tak membiarkan Mama dan Papa menjemput di bandara Kuala Namu ketika kami pulang berlibur. Koper-koper kami pasti memenuhi mobil yang ruang penyimpanannya tak begitu luas. Hingga tidak menyisakan tempat lagi bagi tambahan orang. Dan langsung naik taksi dari bandara adalah satu-satunya jalan keluar yang masuk akal, pikirku.

Sebab itulah aku akhirnya tak sempat bertemu Mama untuk terakhir kali. Hanya pesan terakhirmu yang terus terngiang sesaat sebelum aku berangkat. Tapi aku masih mendengar suaramu tatkala Mama menelpon. Tepat 2 jam sebelum nyawamu dihilangkan paksa oleh pembunuh berdarah dingin itu.

Aku sedih tak berada di sampingmu ketika Mama butuh pertolongan. Aku kecewa tak sempat membantu melafalkan syahadat di telingamu. Aku benar-benar tak berdaya ketika mendapati kenyataan Mama sudah tak bernyawa lagi. Seluruhnya meninggalkan kecamuk rasa demikian hebat. Namun untungnya aku tak menjerit histeris apalagi sampai pingsan. Mungkin Tuhan jua yang menguatkan. Walau akal sehatku seolah menguap saat itu.

Dibalik rasa sakit tak terhingga yang Mama rasakan saat perlahan nyawa lepas dari raga, aku yakin inilah takdir yang telah digariskanNya. Mama berpulang tepat di hari Jum`at ketika azan Zuhur berkumandang. Tanpa aku dan adik-adik yang mendampingi kepergianmu.

Sepeninggal Mama, kami berjuang demi keadilan. Karena tak hanya satu nyawa yang hilang, tapi tiga sekaligus! Hari-hari panjang harus aku lewati bersama adik-adik. Berkutat dengan upaya hukum tanpa kenal lelah. Kami percayakan kasus itu pada  pihak-pihak yang berkompeten. Sambil senantiasa berdoa agar memperoleh keadilan.

Mama tak pernah kan, mengajarkanku untuk menyimpan dendam? Benar Ma, dibalik rasa duka dan kecewa tadi, aku berupaya membuang rasa dendam di hati. Aku tahu memeliharanya hanya akan merusak diriku sendiri. Cukuplah sudah jiwa dan hati ini remuk redam. Jangan lagi dendam menggerogotinya secara perlahan namun pasti.

Dua tahun berlalu, dan lewat surat ini aku ingin menyampaikan sedikit kabar perkembangan terbaru untuk Mama. Usai Pengadilan Negeri Medan memutuskan bahwa ketiga pelaku secara sah dan meyakinkan bersalah dan dijatuhi hukuman mati, proses hukum masih terus berjalan. Terpidana mengajukan banding hingga kasasi yang notabene memakan waktu tak sebentar, Ma. Lagi-lagi kami harus bersabar menanti keputusan.

Hingga beberapa waktu lalu aku mendapat panggilan dari Kantor Kejaksaan Negeri Medan. Keesokan harinya bersama adik-adik, kami menyambangi kantor dan menyelesaikan beberapa urusan di sana. Menandatangani berkas dan mengambil barang bukti yang masih tertahan. Melihat kembali semua benda kenangan tadi seperti mengorek luka yang mulai kering. Bayangan akan kejadian dulu kembali bermain di pikiran.

Jaksa Joice Sinaga juga menyampaikan kabar bahwa saat ini keputusan sudah in kracht (berkekuatan hukum tetap) karena Mahkamah Agung juga menguatkan keputusan dari Pengadilan Negeri Medan. Ketiga terpidana tetap dijatuhi hukuman mati. Alhamdulillah. Namun segala proses eksekusi tentu tak mudah dan butuh waktu yang sangat panjang.

Dibalik segala kesedihan, setidaknya ganjaran hukuman berat untuk pelaku sedikit mengobati kami. Semoga saja benar adanya, bahwa mereka yang begitu tega menghabisi nyawa manusia akan berakhir di depan regu tembak satu hari nanti. Aamiin Ya Allah.

Kejaksaan Negeri Medan
Kantor Kejaksaan Negeri Medan
Di Kejaksaan Negeri Medan
Adik-adik membawa tas almarhum Diqa, salah satu barang bukti

Ma, bagi kami anak-anakmu kehilangan ini begitu berat. Aku pun rapuh menghadapi semuanya. Sering pula terpaksa berkutat dengan rasa sedih itu. Aku sengaja tak membagi cucuran air mata dengan orang lain. Cukup menikmatinya dalam hening dan kesendirian.

Rindu yang terasa kian dalam pasca kepergian Mama sukses membuat aku terisak diam-diam. Biarlah orang lain tak melihatnya, namun aku merasakannya. Aku kerap teringat saat Mama tak enak badan dan memintaku untuk memijat. Belum lagi kebiasaan gemar bersih-bersih hingga kelelahan sering membuatku mengomel pada Mama. Aku tak mau nanti Mama sakit, loh. Sebaiknya sering istirahat saja supaya tetap fit.

Ingat ngga Ma, dulu Mama menganggap tak ada kesenangan yang bisa kuperoleh dari ngeblog. Sayangnya, semua hal yang membahagiakan muncul di waktu yang kurang tepat. Ya, Mama sudah tak ada lagi. Hingga aku tak sempat membuatmu bangga. Tapi belum terlambat kan, kalau aku ceritakan betapa banyak manfaat yang aku dapat. Penghargaan, kesempatan baik, penghasilan, prestasi lomba, dan cita-citaku Ma… jalan-jalan gratis dari blog. Mama pasti senang kalau tahu hal ini.

Oh ya, aku ingin sekali menjenguk Mama. Mudah-mudahan minggu depan aku bisa ke sana ya, Ma. Rindu mengunjungi peristirahatan terakhirmu. Ingin banyak mengadu padamu. Padahal setiap berada di tempat itu air mataku cuma menggenang di pelupuk. Menatap lekat pada nisan, tanpa berkata-kata.

Tempat peristirahatan terakhir Mama

Ah, banyak sekali yang ingin aku curahkan sebetulnya. Walau surat ini takkan pernah sampai di tanganmu, namun aku senang bisa menuliskannya. Surat tanpa alamat yang menjadi tempat mencurahkan perasaan biar lega. Seperti dahulu Mama pernah mengirimkan postcard cantik ketika berlibur ke Eropa bersama Papa.

Postcard dari luar negeri
Postcard dari Mama dalam perjalanan ke Eropa tahun 1987 bersama Papa

Untuk Mama tersayang, terima kasih sudah menjadi orang tua penuh kasih padaku. Omelan dan nasihatmu akan tetap kusimpan di sudut hati. Kehilangan ini justru telah membuatku jauh lebih kuat dari sebelumnya. Serta memberikan kesempatan untuk memetik pelajaran berharga.

Aku terus belajar menata hidup kembali. Belajar untuk tetap optimis walau luka menggores sedemikian dalam. Berdamai dengan kecewa niscaya akan menyembuhkannya. Meski butuh waktu panjang dan sabar yang berlimpah.

Foto bersama adik-adik
Bersama suami, adik-adik dan keponakan dalam versi lengkap
Foto pernikahan Papa dan Mama
Pernikahan Papa dan Mama di Medan (1972)

Selamat ulang tahun ya, Ma. Teriring doa dan peluk cium untuk Mama di sana. Kami semua menyayangimu.

Molly,

Anak sulung yang merindukanmu

***

Baca : Menanti Sebuah Keadilan

Baca juga : Hai Orang-orang Tercinta, Apa Kabar Kalian di Sana?

 

27 thoughts on “Surat Untuk Mama Tersayang

  1. Mamanya cantik sekali mbak Molly 🙂 Alhamdulillah, aku turut senang mendapati kabar jika para pelaku akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Semoga jadi pelajaran bagi semua bahwa apapun perbuatan yang dilakukan ada akibatnya. Jika pun lolos peradilan di dunia, tidak dengan peradilan di akhirat.

    InsyaAllah mama, papa dan Dika sudah mendapatkan tempat yang spesial di sisi Allah Swt. Al Fateha buat mama.

    Liked by 1 person

    • Mama cantik, ya.. hihi. Aamiin… Makasih untuk doanya, Kak Yan😊. Bersyukur banget penantian panjang kami berbuah manis. Semoga memang satu hari nanti benar-benar dijalankan eksekusinya.

      Liked by 1 person

    • Aamiin Ya Rabb. Makasih Mba Lia sayang. Kebetulan putusannya sudah final dan ngga ada sidang lagi. Tinggal menanti waktu untuk eksekusi aja. Semoga memang bisa dilaksanakan, ya.

      Like

  2. Kak Molly, Mama sudah bahagia di Surga bersama Papa, Diqa. Aku membaca surat ini ikut menitikkan air mata, betapa rindu teramat memang snagat menyesakkan dada. Teringat saat di balai-balai kita cerita tentang papa mama, aku pun ikut sedih getir juga terasa. Semangat ya untuk kakak dan keluarga. Aku ikut berdoa untuk mama & papa. Semangat ya kak. Lov u kak

    Liked by 1 person

    • Kalau ditinggal pergi sama orang tua sedihnya beda ya, Rian. Parah😣. Dan cerita di bale-bale tempo hari lumayan bikin aku lega, walau bukan buat berbagi kesedihan. Makasih banget selalu menguatkan aku, Berbie sayang… love you too. Sampai ketemu nanti di Medan, ya😘. Mwaach *peluk

      Like

  3. pelukku untuk mu dari jauh. ikut berduka atas kejadianmu, awalnya aku gak paham maksudmu dulu saat komen di blogku tentang sosok ibu. akhirnya aku menemukan beberapa clue dan coba googling dan menemukan fakta dan kronologi kejadian.

    kiranya duka itu diganti berkali lipat dengan kebahagiaan ya mbak Molly 🙂

    Liked by 1 person

    • Aamiin. Terima kasih sudah menguatkan aku ya, Koh😍. Iya betul, kronologisnya bisa ditemukan kalau kita googling. Karena itu termasuk salah satu peristiwa paling tragis di Medan tahun 2015 lalu. Bahkan TV One secara khusus sempat mewawancarai keluarga untuk masuk tayangan acara khusus mereka (aku lupa namanya). Ya begitulah, hidup selalu penuh kejutan. Semoga hidup ke depannya berjalan lebih baik☺.

      Like

  4. Ikut sedih banget bacanya mba 😦 .. Aku ngebayangin gimana kalo mama papa dan adekku yg mengalami.. Alhamdulillah keputusan sudah final yaa.. Biarlah nanti mereka2 itu jg merasakan hukuman Tuhan. Be strong ya mba molly.. 🙂

    Like

    • Makasih ya, Mba Fanny. Semoga kejadian seperti ini ngga sampai menimpa keluarga lainnya. Takdir memang ngga bisa diprediksi sama sekali, Mba. Insya Allah kami kuat😘

      Like

  5. Ini kunjunganku yang pertama di blogmu sepertinya, tapi entah kenapa tulisan satu ini yang menarik perhatianku. Turut prihatin dan berduka cita ya mbak. Dan aku doakan semoga proses hukumnya lancar dan para pelakunya mendapatkan hukuman yang setimpal. Dan semoga juga kesabaran yang berlimpah diberikan kepada mbak Molly sekeluarga.

    Liked by 1 person

    • Betul, Koh Leo. Menulis kisah sendiri punya tantangan beda, apalagi kalau kisahnya sedih. Berat tapi melegakan. Terima kasih untuk dukungannya, Koh. Bahagia selalu untuk dirimu☺

      Like

Yuk, silakan berkomentar disini. DILARANG meninggalkan link hidup di kolom komentar.