Bertandang ke kota Solo sejujurnya betul-betul tanpa rencana. Aku sama sekali tidak mempersiapkan daftar tempat-tempat yang ingin dikunjungi. Menurutku, sesekali kepala ini mungkin tak perlu diisi dengan banyak rencana. Hanya bergerak mengikuti kemana kaki ingin melangkah.
Seperti halnya Yogyakarta, ada terbesit rasa rindu pada kota Solo. Ini adalah kali kedua aku mengunjungi kota bersahaja itu. Dulu saat perjalananku bersama suami ke sana, kami sangat menyesal karena tak sempat menginap.
Kota Solo yang terkenal dengan semboyan Berseri yakni Bersih, Sehat, Rapi dan Indah memberikan cukup kesan saat ketibaanku di stasiun kereta api Purwosari siang itu. Di balik kesederhanaannya, Solo tetap menyuguhkan pemandangan khas kota modern. Meski dialek Jawa terdengar di mana-mana, namun secara umum penampilan masyarakatnya terlihat kekinian.
Niat awal untuk mengeksplor Solo kandas sudah. Hari sudah terlalu siang. Lagi-lagi tak semua rencana berjalan mulus, toh? Tapi itu tetap tidak menyurutkan semangatku untuk memanfaatkan waktu tersisa.
Menaiki taksi online mungkin takkan sesulit ini bila tidak dipesan dari stasiun kereta api. Di depan pintu keluar sudah terlihat beberapa orang yang coba menawarkan untuk mengantar ke tempat tujuan.
“Mau kemana, Mbak? Mari saya antar kalau mau ke Keraton” ujar seorang pengemudi menghampiriku.
“Ngga, Pak. Makasih” aku menjawab singkat sembari tersenyum.
Aku segera memisahkan diri dari keramaian. Khawatir juga akan semakin banyak orang yang coba menawarkan tumpangan. Sambil bersandar di dekat sebuah tembok, aku memesan taksi online.
Tak lama kemudian muncul sebuah panggilan masuk di layar gawai. Sepertinya dari sang pengemudi.
“Maaf Mbak, saya ngga bisa berhenti di depan pintu keluar. Nanti ribut dengan pengemudi becak” terangnya lewat pembicaraan telepon.
Setelah sepakat, aku berjalan kaki keluar dari stasiun sejauh 200 meter menuju titik penjemputan yang ia sarankan. Lebih aman begini.
Menengok Museum Keraton Surakarta Hadiningrat
Roda mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sungguh aku tidak paham sama sekali ruas jalan yang dilalui. Tak pernah sekalipun aku merasa puas menjelajahi kota ini. Selalu ingin berlama-lama namun terhalang waktu yang kurang bersahabat.
Solo tengah terik hari itu. Langit terlihat sangat clear. Di tengah kondisi ideal seperti ini aku malah tak ingin kesana kemari. Cuma berniat menengok kembali Museum Keraton Surakarta yang sekian tahun silam pernah kusambangi.
Keraton Kasunanan Surakarta yang lebih dikenal dengan Keraton Solo, dahulu adalah pusat pemerintahan kerajaan Surakarta. Keraton tersebut memiliki sejarah panjang hingga menjadi cikal bakal kota Solo.
Perlahan laju kendaraan yang kutumpangi melambat dan berhenti dekat pintu pagar area museum. Sebuah bangunan berdominasi warna biru dan putih langsung menyambut kedatangan para pengunjung. Ada sejumlah uang yang harus dibayarkan bila ingin memasuki museum. Tidak mahal, hanya Rp 10.000 bagi wisatawan domestik dan Rp 15.000 bagi wisatawan mancanegara. Jika membutuhkan jasa pemandu, cukup mengeluarkan tambahan kocek sebesar Rp 30.000.
Setelah sempat ditutup untuk sementara waktu, museum ini kembali dibuka untuk umum per tanggal 1 Mei 2017 lalu. Konon adanya konflik internal membuatnya terpaksa ditutup pada sekitar bulan April 2017.
Sebagaimana museum pada umumnya, di tempat ini tersimpan puluhan benda-benda antik peninggalan Keraton Solo. Aneka koleksinya masih terawat dengan baik di dalam 9 ruangan terpisah. Berbagai benda pusaka, alat-alat untuk keperluan upacara agama, dan arca perunggu terdapat di sana. Bahkan ada sebuah ruang khusus yang menyajikan semacam adegan tentang pengantin Jawa berikut perlengkapannya. Cukup menarik, menurutku.
Beragam kesenian rakyat, alat-alat upacara, juga benda-benda bersejarah keraton tak luput tetap tersimpan rapi. Uniknya, pengunjung juga dapat melihat langsung kereta kencana yang dipergunakan raja untuk berkeliling kota dan kereta kerajaan khusus untuk menjemput tamu agung pada masanya.
Aku nikmati saja jelajah museum kali kedua ini seorang diri, tanpa didampingi oleh pemandu seperti pada kunjungan beberapa tahun silam. Nyaris tak ada yang berubah dari tempat itu. Suasananya masih tetap sama. Pengunjung yang datang pun merupakan rombongan-rombongan dalam jumlah kecil.
***
Rasanya tak salah bila kota Solo ingin memproklamirkan sebagai pusat kebudayaan Jawa lewat slogan pariwisatanya, yakni Solo, The Spirit of Java. Seperti halnya Yogyakarta, Solo merupakan pewaris Kesultanan Mataram yang dipecah lewat Perjanjian Giyanti tahun 1755. Selain itu, masyarakat luas turut mengenal Solo sebagai Kota Batik karena terdapat sentra pengrajin dan penjualan batik bernama Kampung Batik Laweyan.
Ada terlintas keinginan untuk singgah ke Kampung Batik Laweyan. Bahkan aku masih ingat sekali saat mampir ke Solo dahulu bersama suami, kami berbelanja batik cukup banyak hingga harus memanfaatkan jasa pengiriman ke Medan. Tapi kali ini aku harus menunda keinginan tadi sebab takkan puas bila belanja dengan terburu-buru.
Solo selalu punya tempat tersendiri di dalam hati. Entah mengapa kakiku tetap ingin datang lagi meski sekadar menengok. Mungkin ini yang dinamakan magnet, ya. Semacam rasa penasaran yang belum tuntas.
Sebelum kembali ke Yogyakarta dengan kereta api terakhir, belum sah rasanya kalau tidak mampir ke sebuah mal terkenal. Sembari menunggu janji temu dengan Halim, teman travel blogger Solo, aku sempat menyantap menu di resto Yoshinoya, Solo Paragon Mall yang begitu menyelerakan. Supaya nanti ngobrolnya bisa lebih bertenaga. Maklum, sedang lapar berat!
Walau kunjungan singkat ke Solo tidak menancapkan kesan khusus, tapi aku memaknai perjalanan kali ini sebagai sebuah sinyal untuk kembali mengatur jadwal pelesir pribadi.
Baca juga : Dari Yogyakarta Menuju Solo dengan Kereta Api Prameks
Lagi-lagi destinasi tak begitu penting. Sebab naik kereta api ekonomi Prameks pergi-pulang adalah kebahagiaan sederhana yang memikat. Ditambah lagi bisa jalan-jalan sejenak di Solo. Setidaknya punggungku sudah bergeser dari satu kota ke kota lain. Dan kembali harus menekuk kaki di dalam kereta api bukanlah sesuatu yang menyusahkan.
Ternyata malam cukup larut saat tiba kembali di Yogyakarta. Ingin rasanya aku bergegas balik menuju hotel untuk mandi. Tapi sebuah janji temu dengan seorang teman sudah menunggu. Semoga masih tersisa tenaga di tubuh lelah ini.
Yang sejarah2 gini sukak aku ini.. hhehe
kalo boleh tau jarak jogja ke solo berapa lama kak.. soalnya bulan 11 ada rencana ke jogja.. kalo dekat biar disingghakan juga ke solo.. hhehe
LikeLike
Perjalanannya kira-kira 1,5 sampai 2 jam. Bisa naik bus atau kereta api. Yogya memang ga pernah ngebosenin!
LikeLike
Ah Solo memang ngangenin ya, main ke Keraton, beli Batik, makan Selat Solo, Galantin, salah satu ritual kalau kesana. btw itu foto pintu biru ciamik sekali lho.. wallpaperable
LikeLike
Iya betul, cuma aku selalu ngga pernah ngerasa cukup waktu buat eksplor Solo hehehe. Pintu di Museum Keraton itu memang cakep, Aip. Lagi-lagi ngga ada yang bisa dimintai tolong buat fotoin aku waktu itu karena rata-rata yang datang dalam bentuk rombongan.
LikeLike
Sebenernya aku jauuuuhhh lebih suka Jogja ketimbang Solo
Tapi setelah baca postingan ini, kenapa Solo kayak manggil manggil aku untuk segera cuss ke sana ya?
π
LikeLike
Antara Yoga dengan Solo kayaknya beda magnetnya deh, Mba. Tapi sama-sama punya daya tarik yang bikin penasaran buat segera cuss, ya. Hahaha.
LikeLike
Baru sekali ke Solo, dan waktu itu juga cuma kunjungan singkat. Rasanya pengen balik lagi ke sana, biar bisa eksplorasi lebih jauh dan lebih dalam. Seperti Jogja, kota ini juga ngangenin banget π
LikeLike
Aku pun belum puas banget eksplor Solo, nih. Belum sempat kulineran juga hahaha. Kalau nanti ada kesempatan main ke Yogya lagi, wajib mampir ke Soloπ.
LikeLiked by 1 person
Masuk ke Kota Solo nuansanya agak beda dari Yogyakarta. Sama-sama klasik, namun Solo menurutku lebih kalem. Kalau diumpamakan wanita setengah baya, ia lebih bisa menahan diri. Itu lah kesan yang tertinggal padaku tentang Solo yang selalu rindu ingin kembali.
Jadi ketemu Halim juga rupanya Mbak Molly π
LikeLike
Bener banget, terasa beda ya kalau kita mampir ke Solo. Walau ‘sedikit’ lebih terbuka, Solo terlihat kalem daripada Yogya. Kesan magis tetap lebih kental di Yogya ya, Mba Evi. Tapi keduanya sama-sama asik buat dieksplor. Tempo hari aku janjian ketemu sama Halim, Mba. Mumpung udah nyampe Solo, kanπ. Ini perjumpaan kedua sesudah Madura duluβΊ.
LikeLike
aku memang suka dg museum ya, selalu tertarik dg isinya
LikeLike
Menarik karena dari sana kita bisa dapat ilmu pengetahuan dan tau sejarah panjang suatu tempatβΊ
LikeLike
Lihat post kak Mollyta tentang keraton Surakarta ini jadi kangen kesana lagi, pengin ngerasain ulang berjalan kaki mulai dari gerbang awal keraton di dekat Pusat Grosir Solo.
Ya …, waktu itu aku sengaja milih berjalan kaki, ngga milih naik transportasi online untuk sampai di museum keraton biar ngerasain langsung suasana magis menyusuri benteng π
LikeLike
Sebetulnya lebih enak jalan kaki begitu, ya. Sayangnya aku udah kesiangan jadi panas banget hahahaπ. Akhirnya milih naik kendaraan aja langsung dari Stasiun Purwosari.
LikeLike
sayang banget mbak cuma 8 jam π tapi yang terpenting sudah mampir ke keraton Solo
LikeLike
Pinginnya nginep, Mba. Tapi waktu ngga memungkinkan huhuhuπ£. Yang penting udah nebus rindu mampir ke Solo lagiπ.
LikeLike
Harusnya sekalian mampir Salatiga, kak Molly.
Kalau main ke Solo lagi kabarin ya…biar jumpa kita π
LikeLike
Wah mau banget kalau waktunya adaπ. Next kalau aku ada ke Solo lagi, kukabari yaπ.
LikeLike
Duuuh, aku malah belum pernah naik Prameks. Tiap ke Solo ya mobilan sendiri. Keknya mesti diagendakan. Keknya seru π
LikeLike
Walah kayaknya orang asli Yogya malah sedikit yang pakai kereta api kalau ke Solo, ya Mba Carraπ. Bolehlah kapan-kapan dicoba angkutan murmer iniπ.
LikeLike
Nice post mbak.. Jadi obat kangen kota Solo kalau lihat cerita ini π
LikeLike
Semoga satu saat bisa main ke Solo lagi :).
LikeLike
Besok, harus transit di Solo selama 8 Jam. Dan tulisan ini jadi inspirasiku π
LikeLike
Wah terima kasih udah membaca, yaπ
LikeLike