Kita telah mengalami banyak hal di sepanjang hidup. Mulai sejak membuka mata hingga menutup mata sewaktu kembali beristirahat. Tubuh ini menjadi teman setia saat melewati bermacam takdir dan kesempatan. Yang membuat sosok diri berbeda diantara manusia lain di muka bumi.
Aku paham bahwa kita sepatutnya berterima kasih atas semua perjalanan hidup yang sudah dilampaui. Namun terkadang keinginan untuk menikmati segala sesuatu dengan mudah dan bahagia, tidak serta-merta bisa diperoleh.
Ada potongan kisah yang mungkin tidak mengenakkan untuk diingat. Ada kekecewaan yang memeluk erat sepanjang waktu. Bahkan ada kemarahan terpendam yang tidak disadari. Semua ibarat menanti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Sebagai manusia biasa, aku pun pernah menelan kekecewaan dan diliputi kemarahan begitu besar. Dalam perjalanan waktu, aku melakukan upaya semacam self-healing untuk sekadar meredakan rasa sakitnya. Hingga setelahnya aku menganggap semua dapat kembali berjalan normal.
Namun nyatanya tidak.
Aku mendapati diriku yang belum sepenuhnya menerima dan memaafkan ketika mengikuti Kelas Memaafkan pada hari Kamis siang tanggal 16 Mei 2019 lalu. Awalnya aku mengetahui kelas ini dari Kak Aini Tarigan, temanku. Tanpa pikir panjang aku langsung mendaftar karena sejak dulu sudah tertarik pada ilmu NLP.
Kelas Memaafkan ini dibawakan oleh Coach Qodrisyah, seorang Licensed Master NLP Practitioner, Certified Hypnotherapist, sekaligus pakar Persuatrick, dan diadakan di Almaida Chicken, Medan. Aku yang sudah cukup lama mengetahui keberadaan beliau justru baru kali ini berkesempatan ketemu langsung dan mengikuti kelasnya.
Meski tengah menjalani puasa Ramadan, aku tetap semangat untuk belajar hal baru. Peserta yang hadir pun tampak tak kalah antusias. Mereka ingin tau perihal pentingnya memaafkan.
Perihal memaafkan
Seringkali kita mudah terpancing amarah sewaktu mendapat perlakuan kurang menyenangkan atau mendengar ucapan buruk yang ditujukan ke kita. Begitulah cara kita menerima dan menyikapi hal itu. Karena sangat kesal lantas jadi enggan memaafkan. Begitu, kan?
Pada dasarnya ada keuntungan yang diperoleh bila kita memutuskan untuk tidak memaafkan. Sebagai contoh, dalam kasus seseorang yang dikhianati oleh pasangannya. Ia seolah menjadi korban dan bisa mendapat simpati serta perhatian dari sekeliling. Lalu menunjukkan secara moral bahwa kitalah yang benar dan orang lain salah.
Tak cuma itu, kita acapkali melakukan pembenaran atas setiap kemarahan yang terjadi. Dalam hati berkata “aku begini ya, karena dia berlaku tidak adil”. Begitu ujarmu. Bahkan bukan tidak mungkin lantas tak sudi memaafkan. Anggapanmu memaafkan itu seperti pecundang.
Belum lagi sebagai korban kita anggap bahwa tindakan memaafkan merupakan bentuk ketidakmampuan diri membela hak. Ya, karena merasa benar tadi. Alasan lain tak sudi memaafkan sebab merasa sikap itu akan beri keuntungan bagi si pelaku. Pokoknya tak ada alasan untuk memaafkannya! Selesai perkara.
Padahal, memaafkan tidaklah sama dengan menerima keadaan.
Coach Qodri menerangkan bahwa dalam setiap kemarahannya manusia cenderung menyalahkan ke luar maupun ke dalam. Kemarahan tadi bisa diluapkan karena tidak bisa menerima takdir Tuhan, misalnya. Atau menyalahkan orang tua yang memiliki andil. Begitu pun menyalahkan pasangan, anak, dan teman. Bahkan tak jarang ikut menyalahkan diri sendiri.
Ini betul sekali. Aku pernah mengalaminya.
Pengalaman menyakitkan ditinggal pergi kedua orang tua dalam sebuah peristiwa pembunuhan, membuat sakit hati bersarang di dalam dadaku. Setiap kali mengingat kejadian tersebut, seketika muncul rasa frustasi dan kesedihan mendalam.
Aku sering mensugesti diri bahwa peristiwa itu sudah berlalu. Walau tak pernah siap untuk kehilangan, aku berupaya menerima, memaafkan, sekaligus melupakan supaya kesedihannya tak berlarut-larut.
Aku terus berusaha memendam dan melupakan kejadian itu sampai hampir mengalami repressed memory. Rasanya seperti itu, saking khawatirnya ia naik dari bawah sadar.
Ternyata sampah emosi tadi tidak terkikis habis meski aku telah mengikhlaskan.
Memaafkan adalah state of mind yang melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan tertentu. Maka dari itu kita pahami dulu bagaimana cara kerja pikiran dan perasaan tadi.
Menurut Coach Qodri, memaafkan bukan berarti memaklumi atau melupakan. Bukan pula sebuah pembenaran atas perlakuan salah orang lain terhadap diri kita. Memaafkan juga bukan sesuatu hal yang bisa menenangkan.
Memaafkan bukan pula satu sinyal bahwa tidak perlu mengadili, sebab ia tidak selalu diiringi dengan sebuah perdamaian. Hal itu seperti yang aku alami terkait peristiwa kehilangan orang tua kami. Toh proses pengadilan hingga tingkat kasasi tetap berlangsung.
Baca: Menanti Sebuah Keadilan
Artinya, dengan memaafkan kita tidak serta-merta melupakan peristiwa maupun berdamai. Namun emosi yang bersarang hanya akan menjadi sampah yang bisa membusuk dan melukai diri sendiri. Itu sebabnya perlu diingat bahwa apa yang kita pikirkan selalu berdampak pada tubuh kita.
Upaya menghalau emosi buruk yang hadir
Saat lagi kesal atau galau, sebaiknya berfokuslah pada diri sendiri (centering). Bukan fokus pada peristiwa/masalahnya. Dengan melakukan centering, kontrol berada sepenuhnya di dalam diri. Ini yang disebut dengan pengendalian diri. Sebab ketika kontrol itu ada di luar diri, kita tidak dapat mengaturnya lagi.
Lewat sesi ini, Coach Qodri mengajak peserta untuk bersedia melepaskan sampah emosi tadi. Peserta lalu diminta duduk rileks sembari memejamkan mata dan fokus mendengarkan kata-kata yang beliau ucapkan. Sesi yang sangat emosional tersebut menjadi sugesti positif yang justru sukses menumpahkan air mata hampir semua peserta. Tak terkecuali aku.
Lewat sesi ini aku merasa semua emosi terpendamku tumpah tak terbendung. Air mataku mengalir deras membasahi pipi. Aku seakan diingatkan kembali pada detil peristiwa menyakitkan di tahun 2015 lalu.
Aku coba mengingat wajah kedua orang tua dan keponakanku. Membayangkan kesakitan mereka, memutar kembali semua memori buruk, dan hari-hari berat yang kami lalui selama berbulan-bulan di pengadilan negeri Medan.
Baca juga : Surat untuk Mama Tersayang
Rasanya sungguh campur aduk. Marah, kesal, kecewa, sedih, dan entah apa lagi.
Lalu sesudahnya peserta diminta untuk perlahan melepaskan kemarahan terpendam tadi. Merelakan sampah emosi itu keluar dari pikiran. Lalu mengikhlaskan apa yang sudah terjadi untuk kemudian coba betul-betul memaafkannya. Begitu pun memberi maaf pada diri sendiri yang sudah mengurung emosi sedemikian lama dan memaafkan pelaku yang berbuat tak adil.
Di ujung sesi, peserta diajarkan mengubah program dalam pikiran untuk mendetox emosi dan perasaan negatif. Aku yakin ini tidak mudah, namun dengan tekad kuat aku harus tetap mencobanya. Melakukan edit submodality mungkin adalah sebuah proses panjang untuk melepas hal/kebiasaan buruk yang dapat dipraktekkan berulang-ulang.
***
Setiap orang pasti punya gudang emosi. Jangan biarkan ruang penyimpanan tadi diisi dengan emosi negatif yang merusak ketenangan hidup. Kita mungkin menyangkal gangguan-gangguan yang dianggap tak berarti itu. Tapi sesuatu yang tak tuntas sepenuhnya akan masuk ke dalam alam bawah sadar. Karena kita cuma menekan masuk lebih dalam, bukan mengeluarkan dengan semestinya.
Usai mengikuti kelas tersebut, aku kembali diingatkan bahwa perkara memaafkan bukanlah tanda kelemahan, tapi justru sebuah kekuatan. Tak ada yang tak bisa dimaafkan di dunia ini. Aku memaafkan demi ketenangan batin dan kesehatan mentalku. Karena aku menyayangi diriku sepenuhnya.
Aku tak pernah melupakan peristiwa pahit tadi. Itu merupakan takdir dan perjalanan hidup. Betapapun beratnya, aku sudah memaafkan. Semoga benar-benar memaafkan sepenuh hati. Meski kesedihan acapkali muncul saat mengenangnya, aku ingin hidup yang terus berjalan ini kelak diisi oleh hal-hal baik. Aamiin ya Allah.
Baca juga : Bagaimana Aku Melewati Kesedihan dan Rasa Kehilangan
Mari berbesar hati, tanggalkan ego, dan maafkan mereka yang sudah menyakitimu. Memaafkan sungguh sebuah kemuliaan. Aku aja sanggup memaafkan perbuatan keji penghilang nyawa kedua orang tua kandungku. Masa kalian tidak bersedia memaafkan perbuatan buruk yang diterima? Yuk kita saling memaafkan. Mumpung masih di bulan Syawal nan barokah.
Selamat Hari Raya Idulfitri 1 Syawal 1440 H.
Mohon maaf lahir dan batin, teman-teman.
Aku lagi ada di pergelutan soal ini. Lagi mpet banget sama seseorang karena bikin kesalahan luar biasa berat menurutku. Dan beliau gak meminta maaf. Di satu sisi aku capek “membencinya” satu sisi memaafkan masih terasa berat. Hiks. Semoga waktu yang akan menjawab.
LikeLike
Membenci itu menghabiskan energi, Kak Yan. Kita yang menderita, dia ngga kenapa-napa. Memaafkan juga berat pastinya, tapi kalau kita bersedia yakinlah kebaikan bakal datang untuk kita. Aku yakin dirimu pasti bisa memaafkan kesalahannya tanpa melupakan🙂.
LikeLike
Hoah…. makjleb banget bacanya teh. Soalnya itu yang lagi kurasakan…sulit memaafkan.
LikeLike
Mari pelan-pelan ikhlas untuk memaafkan apapun yang sudah mengecewakan ya, Mba. Niatkan aja… pasti bisa seiring waktu🙂
LikeLike
Bener mba baru ngerasain dan ini terjadi sama orang dekat saya mba. Kok bisa yah sebegitu menyakitinya sampe saya pasang tameng besar sama dia,padahal saya bukan orang semacam itu
LikeLike
Percayalah Mba, itu mungkin udah jalan cerita yang harus dijalani. Buruk sekalipun pasti tetap ada hikmahnya🙂. Tinggal gimana kita menyikapi. Maaf itu mendamaikan😇.
LikeLike
Iya bener sampe aku jadi gak bisa bedain aku yang salah atau mereka yang salah. Lagi aku usahakan mba perlahan memaafkan mereka
LikeLike
Semoga bisa segera lepas dari kemarahan dan bisa memaafkan, Mba🙂.
LikeLike
Iya….. aku pengen diajarin dong mba. Plus gak terpengaruh dengan cara pikir orang itu yang gak banget. Aku tuh sadar dan berusaha meluruskan dan selalu berpikir. Kok tuh orang mikirnya gitu amat yak. Gitu mba…jadi ikut kepikiran.
LikeLike
Kuncinya cuma fokus ke diri sendiri, Mba. Setiap kali muncul bayangan orang yang bikin kesal, kita langsung sugesti diri untuk hanya berfokus pada diri. Yang mau dibahagiakan diri kita sendiri, bukan siapa-siapa. Dan kendali semua di kita. Bukan orang lain yang mengatur kita mau senang atau tidak, tapi dikir kita sendiri. Kita yang jadi tuannya. Lama-lama even orang itu muncul di hadapan kita sekalipun, kita udah ngga emosi lagi. Ego jangan dikasih makan terus, Mba. Nanti emosinya susah terkikis😀
LikeLike
Iya ya…. sulit tapi
LikeLike
Sulit tapi ngga ada yang ngga mungkin di dunia ini, selama kita mengizinkan jadi lebih baik dan mau berusaha🙂
LikeLike
Hmmmm iya mba…. kalau cara aku bahagia dengan mengabaikan mereka bagaimana. Tapi tak seharusnya mengabaikan mereka. He…
LikeLike
Memaafkan, melupakan dan move on itu susah kak… tp itu racun yang harus bener-bener dibuang supaya sehat lahir batin. Kapan ada kelas lagi itu kak? Hehe
Oiya minal aidin walfaizin kakak cantiik… 🙂
LikeLike
Minal Aidin wal Faidzin… maaf lahir batin, Uchi😘. Memaafkan memang sesulit itu, maka harus keinginan kita sendiri buat terbebas dari jerat emosi dan membuang sampahnya. Karena marahnya kita paling berdampak langsung buat diri sendiri. Moga-moga kita jadi orang yang ikhlas memaafkan ya, Chi😊. Untuk kelas belum ada kabar lagi siy.
LikeLike
Memaafkan secara kata-kata masih lebih mudah dilakukan nih kak tapi untuk ikhlas menerima kenyataan dari kesalahan orang lain yang sulit. Belajar memaafkan ini yang terus berproses ya kak, dikecewakan tentu bukan hal yang mudah. Kadang bisa berkata uda dimaafin kok tapi masih kepikiran keselnya berkelanjutan. Kelasnya itu sepertinya sangat bagus ya kak untuk memperbaiki pola pikir juga biar lebih menerima. Next, kalo ada lagi pengen juga ikutan,kak.
LikeLike
Betul Rin, ikhlasnya yang sulit. Dan itu perlu proses karena kita harus mencerna lagi pelan-pelan alasan kenapa tidak memaafkan. Tapi percaya deh, sekali kita berhasil letakin ego sejajar tanah dan mau ikhlas, memaafkan jadi lebih mudah. Dan kesalnya ikut menguap😀. Kelas ini bagus cuma aku ngga tau apakah bakal ada lagi atau ngga🙂.
LikeLike
aku jadi pengen ikut nangis bacanya. aku jadi flash back masa lalu. memaafkan bukan perkara mudah tapi bukan jadi alasan untuk tidak mau memaafkan
LikeLike
Melepas sumbatan emosi dan buang sampahnya memang ngga mudah. Tapi percaya deh, ikhlas memaafkan akan bikin batin lebih tenang. Yang penting ada kesediaan untuk maafin, ya🙂
LikeLike
aku udh lama berusaha belajar utk slalu gampang memaafkan. susah yaa mbaa.. beberapa berhasil aku coba maafkan, tp ada jg yg msh beraaaat banget. tetep berusaha sih.
sugestiku skr ini, kalo apapun yg kita punya ini, bukan milik kita. smua milik yang Maha Atas. kapanpun dia ingin mengambil, dengan cara apapun, itu bukan hak kita utk melarang. ituuu trus yg aku tanamin dlm pikiran. berharap aku bisa lbh ikhlas nerima segala takdir yg udh ditetapin.
berat, tp hrs bisa ….
LikeLike
Memang betul kalau memaafkan itu ngga semudah mengucapkannya. Kadang di lubuk hati masih terasa dongkolnya. Manusiawi siy, Mba Fan. Kuncinya hanya ikhlas dan berserah diri. Semoga kita jadi manusia yang pemaaf, ya🙂
LikeLike
memaafkan emang terkadang sulit, tapi ketika udah dilakuin, insya Allah hati menjadi tenang. Keren kak tulisannya. Jadi nambah wawasan tentang Memaafkan.
LikeLike
Makasih udah baca, ya. Aku pingin nulis ini juga karena merasa memaafkan itu sulitnya minta ampun. Kadang mulut sudah memaafkan tapi hati ternyata belum. Tapi kalau kitanya niat dan ikhlas, Insya Allah batin lebih tenang🙂
LikeLike
mengampuni itu kasih ..mengampuni itu indah..:)
LikeLike
Semoga kata maaf yang terucap betul-betul karena kita sudah ikhlas dan mengampuni perbuatan buruk yang terjadi pada diri kita, ya🙂
LikeLike
Makasih sharenya kak…. mau bilang sudah memaafkan berulang kali, ikhlas berulang kali, tapi tetap aja memori itu muncul ya kak… iyah juga harus banyak belajar soal ini.. 🙂
LikeLike
Saking susahnya ikhlas memaafkan, kita semua kudu belajar terus menekan ego, Yah. Kadang si ego ini yang bikin semua jadi berantakan🙂
LikeLike
Teringat kalau saya begitu kesal sama ortu sendiri ya itulah membuatnya mengalir agar tak lagi tersimpan didalam hati.
LikeLike
Semoga bisa betul-betul mengikhlaskan semua yang udah terjadi dan memaafkan mereka, ya. Pasti bisa asal ada kemauan🙂.
LikeLike
Kayaknya aku harus ikut kelas memaafkan juga kak 😅
LikeLike
Kayaknya gitu, biar sampah emosi yang numpuk bisa keluar semua dan jadi pemaaf, Win😄
LikeLike
Dari dulu udah mendoktrin diri bahwa memaafkan kesalahan orang lain dan diri sendiri itu pasti melegakan.
Alhamdulillah, pernah sakit sesakit2nya punya ibu tiri kak, pernah sakit sesakit2nya dikhianati,tapi Alhamdulillah sampai sekarang masih berhubungan baik dengan mereka.
Bahwa ketika fase memaafkan itu udah kita lewati, hidup kita mmg lbh tenang ya kan kak,
Tulisan yang apik kak, ❤
Semoga kkta bisa terus berdamai dengan diri dan orang lain
LikeLike
Bersyukur udah melampaui masa-masa sulit itu ya, Jannah. Memaafkan dengan ikhlas memang ngga mudah, tapi kalau kita mengutamakan ketenangan batin sendiri, kita bakal bersedia untuk melepaskan sampah emosinya. Dan berdamai dengan semua keadaan yang ada. Insya Allah🙂.
LikeLike