Beberapa bulan sebelum kami memutuskan untuk liburan singkat ke Surabaya pada tahun 2011 lalu, aku dan suami sempat berdiskusi menentukan apakah kami akan melakukan perjalanan yang tak biasa yaitu menuju puncak Bromo. Akhirnya kami sepakat untuk kesana, namun harus merubah jadwal keberangkatan sebab aku terlanjur membeli tiket Air Asia Medan-Surabaya-Medan beberapa waktu lalu. Jadwal keberangkatan maskapai Air Asia yang berangkat siang hari dari Medan membuat kami terpaksa merelakan tiket itu “hangus” tak terpakai dan membeli tiket baru Lion Air Medan-Surabaya via Batam. Saat itu suamiku masih bertugas di Batam dan aku tinggal di Medan. Akhirnya pada tanggal 20 Oktober 2011 aku berangkat dari Medan ke Surabaya dengan penerbangan pagi pukul 07.00 WIB dan transit di Batam agar bisa satu pesawat dengan suamiku yang berangkat dari Batam. Begitulah sedikit kerepotan yang pernah kami alami saat ingin bepergian… hehehe

Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam lebih pesawatpun mendarat di Bandara Juanda Surabaya. Kami memutuskan untuk makan siang dahulu di bandara barulah melanjutkan perjalanan dengan taksi menuju Terminal Bus Bungurasih, Surabaya. Tiba di terminal bus, dengan sedikit bingung kami mencari-cari bus AC menuju ke Probolinggo. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami duduk manis di dalam bus menanti waktu untuk berangkat. Kalau tidak salah ingat, saat itu waktu sudah hampir menunjukkan pukul 2 siang. Perjalanan dari Surabaya menuju Probolinggo ditempuh dalam waktu kurang lebih 3 jam. Selama di perjalanan ternyata bus melewati lokasi lumpur Lapindo yang terkenal itu.

Arus lalu lintas menuju Probolinggo ternyata tak selancar yang aku duga. Terdapat beberapa titik kemacetan yang harus dilalui dan membuat kami sedikit gelisah akan sampai kemalaman di Probolinggo. Karena bus yang kami naiki jurusan akhirnya bukanlah Probolinggo, tentunya kami harus awas dan setelah bertanya pada salah satu penumpang bus, kamipun turun di Terminal Bus Bayuangga Probolinggo pada pukul 5 sore. Beberapa tukang ojek menawarkan untuk mengantar kami menuju desaSukapura, namun aku dan suami menunggu kendaraan mirip colt yang biasa membawa penumpang ke Sukapura. Sesudah hampir 1 jam menunggu dan tak tampak orang lain yang akan bersama-sama ke Sukapura, akhirnya suamiku memutuskan untuk men-carter colt yang terparkir di tepi jalan agar segera mengantar kami menuju Sukapura.
Setelah membayar IDR 200.000 supir colt akhirnya hanya membawa kami berdua (padahal kalau saja ada penumpang lain, biasanya cukup membayar IDR 25.000/orang). Sudahlah, yang penting kami tidak kemalaman karena hari mulai gelap. Dari Terminal Bus Bayuangga Probolinggo ke Desa Sukapura menempuh waktu sekitar 1 jam perjalanan dengan pemandangan indah dan jalan yang berkelok-kelok. Colt mengantarkan kami tepat di depan penginapan yang telah aku pesan lewat telepon sewaktu masih di Medan. Kami sengaja menginap di Cemoro Lawang karena itu adalah desa tempat perhentian tertinggi untuk melihat keindahan Bromo. Beberapa orang yang ingin ke Bromo bisa juga menginap di Surabaya, Malang ataupun beberapa desa sebelum Cemoro Lawang. Hawa dingin mulai menusuk menjelang malam hari, sampai kakiku tak sanggup menginjak lantai saking dinginnya… hehehe. Malam hari kami menikmati makan malam di restaurant di Lava View Lodge, tempat kami menginap. Karena kami agak mendadak memutuskan ke Bromo, akhirnya hotel itu harus dibayar IDR 650.000/malam. Kalau dipesan jauh sebelumnya, harganya bisa lebih murah.
Usai makan malam, seorang tukang ojek motor menghampiri kami dan menawarkan untuk mengantarkan kami sebelum subuh menuju Penanjakan. Sebenarnya, temanku Arie telah memberikan nomor handphone tukang ojek yang pernah disewanya saat ke Bromo bulan Agustus lalu. Karena alasan kepraktisan, kamipun memesan 2 ojek motor yang datang tadi untuk menjemput kami sebelum subuh di hotel. Malam ini kami tidur lebih awal karena ojek akan menjemput kami tepat pukul 3 dini hari !
Alarmku berbunyi jam 2 dini hari, kami hanya cuci muka dan sikat gigi (tanpa mandi karena dinginnya minta ampun padahal ada air hangatnya !), bersiap-siap sambil menunggu jemputan ojek. Tepat jam 3 dini hari kamipun dijemput lalu dalam kegelapan malam kami dibawa naik ke puncak Penanjakan. Sepanjang perjalanan aku nyaris tak bisa melihat apapun saking gelapnya, hanya berdoa semoga kami sampai dengan selamat di tempat tujuan. Hawa dingin terasa menusuk hingga ke tulang, padahal aku sudah memakai 2 lapis jaket, topi kupluk, sarung tangan, kaos kaki dan tidak memakai celana jeans yang cenderung membuat semakin dingin ! Lututku nyaris mati rasa karena terpaan angin yang sangat dingin bersama lajunya motor yang membawa kami dengan kecepatan tinggi melintasi lautan pasir hingga akhirnya melintasi jalan berbelok-belok sambil terus mendaki ke Penanjakan.
Selama kurang lebih 30-40 menit perjalanan, tibalah kami di Penanjakan yang merupakan tempat paling strategis untuk menyaksikan terbitnya matahari di puncak Bromo karena memiliki ketinggian 2770 mdpl, lebih tinggi dari gunung Bromo yang memiliki tinggi 2329 mdpl. Perjalanan ke Penanjakan juga bisa ditempuh dengan mobil jeep/hartop maupun kuda. Karena kami hanya berdua, tentunya akan lebih efisien dan murah bila menggunakan ojek saja yang biayanya sekitar IDR 120.000/ojek hingga rute ke Savana nanti. Untuk tiba di gerbang masuk Penanjakan, kami harus berjalan kaki lagi dengan menanjak dan saat itulah aku hampir tak sanggup karena udara diatas sangat tipis membuat napas makin sesak saat menaiki anak tangga. Namun itu semua akhirnya terbayar pada saat benar-benar bisa menyaksikan terbitnya matahari yang sangat indah di Bromo pada pukul 4 dini hari. Benar-benar pengalaman yang tak akan pernah dilupakan ! Detik-detik terbitnya matahari hanya aku saksikan dengan mata telanjang sampai lupa mengabadikannya lewat kamera… hehehe.






Usai menikmati keindahan panorama alam, sekitar pukul 6 pagi kamipun turun dan mampir di kedai terdekat untuk sekedar sarapan pagi sederhana. Teh manis hangat membuat rasa dingin yang tadi terasa mulai pelan-pelan menjadi normal kembali. Sambil menuruni jalan setapak disisi kiri terlihat lautan pasir luas yang tertutup oleh gumpalan awan putih yang sangat indah, seolah kita berada diatas awan. Kaldera lautan pasir ini memiliki luas sekitar 6290 Ha, dengan batas berupa dinding terjal yang ketinggiannya antara 200-700 meter.




Usai menikmati sarapan pagi, kami melanjutkan perjalanan dengan ojek tadi sambil menuruni jalan yang berbelok-belok. Ternyata jalurnya cukup ekstrim dan curam, untung saja dini hari tadi tidak kelihatan sehingga rasa takut tak begitu terasa… hehehe. Kami dibawa ke satu titik untuk dapat mengabadikan keindahan panorama gunung Bromo seperti pada foto dibawah ini.

Dari Gunung Penanjakan ojek terus menuruni jalan beraspal hingga sampai di hamparan lautan pasir yang sangat luas. Mengendarai motor di tengah-tengah lautan pasir tentunya membutuhkan keahlian tersendiri dan aku yang dibonceng merasa sedikit deg-degan takut motornya slip dan terjatuh… hehehe. Namun pengendara ojek yang trampil membuat kami tiba di kaki gunung Bromo dengan selamat !
Di depanku terlihat puncak kawah Bromo yang menjulang tinggi, namun untuk mencapai kesana masih harus melakukan pendakian. Dan kini aku sedang berdiri tepat disebelah gunung Batok yang tandus. Angin bertiup kencang namun udaranya tak sedingin tadi pagi.


Para wisatawan diberikan 2 pilihan untuk mencapai kawah Bromo, bisa dengan berjalan kaki menyusuri jalur pendakian yang cukup terjal karena sudut kemiringannya nyaris 45 derajat ataupun menyewa jasa kuda yang dinaiki oleh 1 orang saja untuk sampai keatas. Aku dan suami langsung memilih untuk naik kuda saja, dan kami tak bernegosiasi lagi soal harga per kuda sebesar IDR 100.000 yang mungkin kemahalan dengan alasan iba sama kudanya… hahaha.

Tapi perjalanan belum selesai, saat kuda mencapai ketinggian tertentu ternyata masih ada ratusan anak tangga yang harus dilalui untuk sampai tepat di bibir kawah Bromo. Aku mencoba menaiki anak tangga tersebut, namun kondisi pasir yang tebal menutupi anak tangga yang ada membuat usaha menaikinya menjadi sesuatu yang sulit ! Mengerahkan tenaga saja rupanya tak cukup, harus dengan tekad kuat agak berhasil sampai diatas. Aku menyerah, tak sanggup lagi menaiki anak-anak tangga berikutnya karena berat bagiku menaiki tangga yang sudah tertutup pasir setebal-tebalnya. Gagal lah melihat kawah Bromo yang menjadi puncak dari semua perjalanan ini. Suamiku yang tak tega akhirnya memutuskan untuk tak jadi naik keatas… hehehe.
“Maaf ya bang, Molly udah kehabisan tenaga…”.
Setelah mengambil beberapa foto, kuda pun membawa kami kembali ke bawah. Kali ini perjalanan terasa lebih sulit sebab dengan sudut kemiringan nyaris 45 derajat membuat aku harus mengatur keseimbangan badan agar kami tak tersungkur dan menggelinding ke bawah… hahaha. Ternyata begini rasanya naik kuda menuruni jalan yang curam.

Sampai di bawah, aku dan suami sempat berfoto di dekat sebuah pura yang terletak di tengah lautan pasir yang bernama Pura Luhur Poten Gunung Bromo. Pura ini menjadi tempat ibadah bagi suku Tengger yang mayoritas beragama Hindu. Pura ini juga merupakan pusat kegiatan upacara adat suku Tengger seperti Hari Raya Karo, Yadnya Kasada dan Unan-Unan. Saat itu sedang tak ada kegiatan keagamaan di Pura tersebut.


Kami melanjutkan perjalanan dengan dibonceng ojek menuju ke padang rumput Savana. Sayangnya pada saat itu kekeringan masih melanda daerah Jawa Timur yang membuat hamparan rumput yang seharusnya hijau justru terlihat sedikit tandus. Di beberapa titik mulai terlihat rumput baru yang mulai tumbuh. Bila tak mengalami kekeringan tentu seolah kita berada di lapangan rumput yang sangat luas dan membayangkan Teletubbies… hehehe. Wajar saja suamiku rela repot-repot bawa kamera DSLR dan tripod untuk mengabadikan pemandangan yang indah ini. Sedangkan aku cukup puas dengan kamera saku kecil (saat itu) berwarna merah untuk memotret semua perjalanan ini… hehehe.


Waktu menunjukkan pukul 9.30 pagi, walaupun hari belum terlalu siang namun kami harus kembali ke hotel karena sebentar lagi akan ada angin kencang berhembus dan membuat debu-debu pasir itu naik keatas yang akan mengganggu penglihatan maupun pernafasan. Selama dalam perjalanan dengan ojek, aku dan suami tetap menggunakan masker.
Setibanya di hotel, barulah kami sarapan yang sebenarnya di dalam restaurant hotel, dilanjutkan dengan mandi dan berkemas-kemas untuk check out dari hotel.

Dari desa Cemoro Lawang menuju desa Sukapura ternyata tak ada kendaraan samasekali, alhasil aku dan suami terpaksa berjalan kaki yang akupun tak ingat sejauh apa sambil menggendong ransel masing-masing yang lumayan berat (kali ini kami tak membawa koper karena menyesuaikan dengan tipe liburannya… hehehe) menuju Sukapura. Tiba disana, terlihat sebuah mobil colt terparkir menunggu penumpang. Mobil ini di pagi hari biasanya mengangkut penumpang yang membawa hasil kebunnya ke kota berikut dengan ayam dan kambing didalamnya. Setelah 30 menit menunggu dan tak ada tanda-tanda penumpang lain yang akan naik, suamiku pun bernegosiasi dengan supir colt. Bersama kami rupanya ada seorang bule (laki-laki) yang ingin ke Probolinggo, awalnya dia mau ikut nebeng di dalam coltyang hendak kami carter (dasar bule pelit… mau enaknya aja !). Setelah kompromi sana sini, akhirnya sepakat bahwa kami bertiga akan membayar IDR 25.000/orang untuk sampai ke Terminal Bus Bayuangga Probolinggo.

Satu jam kemudian tibalah kami di Terminal Bus Bayuangga Probolinggo. Huuuffft… rasanya lega sekali ! Kami masih sempat sekedar mengisi perut dengan makan soto mie di terminal bus sambil menunggu bus yang akan memberangkatkan kami. Tak lama kemudian, kami pun naik ke dalam bus AC yang akan menuju ke Surabaya. Usai sudah perjalanan panjang dari Medan untuk melihat keindahan alam Bromo yang sangat luar biasa dan membuat kecintaanku terhadap Indonesia makin bertambah. Saatnya kini menikmati perjalanan kembali ke Surabaya… Sampai ketemu lagi di lanjutan cerita kami di Surabaya ya !
