Menyusuri Barelang hingga Kampung Pengungsi Vietnam dan Kopak Jaya 007

Di sela-sela kegiatan event Batam International Culture Carnival 2018, aku bersama teman-teman menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa tempat yang menjadi ikon kota Batam. Jembatan Barelang adalah salah satunya. Jembatan ini tak hanya menjadi simbol namun oleh warga dijadikan sebagai tempat wisata sekaligus bersantai.

DSCF6296

Setelah menikmati sarapan di hotel dan melakukan koordinasi dengan sebagian yang bertugas meliput di lokasi lain, kami berangkat menuju ke Jembatan Barelang. Perjalanan dari tengah kota sendiri berjarak sekitar 20 km lebih.

Sekilas Tentang Jembatan Barelang

Pembangunan Jembatan Barelang diprakarsai oleh Ir.BJ. Habibie yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada tahun 1992. Total panjang jembatan yang mencapai 2.264 meter selesai dibangun pada tahun 1998.

Menurut informasi, pembangunan tersebut merupakan proyek berteknologi tinggi. Sebanyak ratusan insinyur Indonesia terlibat dalam pembangunannya tanpa campur tangan tenaga ahli dari luar negeri. Luar biasa, ya!

Jembatan Barelang yang merupakan singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang adalah nama jembatan yang menghubungkan pulau-pulau yaitu Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru. Seluruh wilayah Barelang mencakup luas 715 km².

Terdapat enam jembatan yang saling terhubung. Nama-nama jembatan tersebut diambil dari enam raja yang pernah menguasai Melayu-Riau pada abad 15 M hingga 18 M. Yang membuat Jembatan Barelang ini istimewa adalah bentuknya yang mirip dengan Golden Gate di San Fransisco. Oleh sebab itu banyak sekali wisatawan datang untuk menikmati keindahan pemandangan sekitar jembatan.

Mampir ke Barelang Bridge

Menjelang siang mobil yang kami tumpangi tiba di lokasi. Aku beserta kelima orang teman media dan seorang pengendara mobil turun untuk melihat-lihat sekeliling. Di bawahnya terdapat bangunan berbentuk taman dan lapangan terbuka hijau.Walau sudah pernah beberapa kali mampir ke sana, aku tidak melihat ada perubahan yang berarti.

Karena bertepatan dengan hari Sabtu maka cukup ramai pengunjung yang datang. Kebanyakan adalah keluarga. Satu rombongan turis mancanegara juga mampir ke sini. Tidak ada pungutan biaya masuk selain biaya parkir kendaraan saja.

Petunjuk arah di Barelang Bridge

Cuaca kota Batam yang sedang cerah membuat pemandangan tampak indah. Wajarlah bila banyak orang suka mengabadikan diri dengan berfoto di sana. Dan sekarang ternyata sudah ada beberapa orang fotografer yang dapat dimanfaatkan jasanya. Mereka menggunakan kaos bertulisan khusus hingga mudah dikenali.

Jembatan 1 Barelang

Bersantai di Barelang Bridge

Beberapa penjual makanan ringan maupun barang lainnya sedang menjajakan dagangan mereka di tempat itu. Agaknya setiap akhir pekan atau masa libur panjang, pedagang musiman datang untuk mencari nafkah.

Penjual kacamata di jembatan Barelang

Seorang penjual gorengan bernama Ibu Ita yang aku temui siang itu menuturkan ia hanya datang setiap hari Sabtu dan Minggu saja untuk berjualan. Pada hari biasa sang ibu menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya saja. Di Jembatan Barelang beliau berjualan peyek, udang tusuk, dan kepiting yang sudah digoreng.

Menjual gorengan di Jembatan 1 Barelang

Setiap pagi beliau yang tinggal di daerah Baloi Kolam datang ke rumah tetangganya untuk mengambil dagangan tadi, selain udang yang dibelinya sendiri di pasar. Sementara kepiting beliau peroleh dari Tanjung Piayu.

Makanan yang telah siap diolah tadi lantas dibawa ke Jembatan 1 Barelang untuk dijual. Ibu Ita menjual kepiting seharga Rp 60.000/ekor, udang seharga Rp 20.000/3 tusuk, dan Rp 10.000 untuk 3 buah peyek.

Nama-nama Jembatan Bersejarah

Perjalanan kembali dilanjutkan menuju ke Pulau Galang. Sejauh mata memandang, di sepanjang jembatan kami disuguhi oleh pesona perairan Kepulauan Riau yang dikelilingi oleh pulau-pulau kecil nan elok. Bukit-bukit berhiaskan tumbuhan hijau dan hamparan lautnya benar-benar menyuguhkan panorama yang sangat menawan.

Jembatan 1 bernama Jembatan Tengku Fisabilillah menghubungkan Batam dengan Pulau Tonton sepanjang 642 meter. Jembatan 2 bernama Jembatan Nara Singa menghubungkan Pulau Tonton dengan Pulau Nipah sepanjang 420 meter. Ada pun Jembatan 3 bernama Jembatan Raja Ali Haji menghubungkan Pulau Nipah dengan Pulau Setokok sepanjang 270 meter.

Lalu Jembatan 4 bernama Jembatan Sultan Zainal Abidin menghubungkan Pulau Setokok dengan Pulau Rempang sepanjang 145 meter. Selanjutnya Jembatan 5 bernama Jembatan Tuanku Tambusai menghubungkan Pulau Rempang dengan Pulau Galang sepanjang 385 meter. Dan terakhir Jembatan 6 bernama Jembatan Raja Kecil menghubungkan Pulau Galang dengan Pulau Galang Baru sepanjang 180 meter (sumber: Wikipedia).

Ke-6 jembatan megah tersebut mencapai total bentangan sejauh 2 kilometer. Bila kita berkeliling dari jembatan pertama sampai yang terakhir akan menghabiskan waktu sekitar 50-60 menit. Wow, cukup jauh juga, ya.

Menyambangi Kampung Pengungsi Vietnam

Karena baru-baru ini diselenggarakan Barelang Bridge Marathon 2018, aku melihat ada semacam tanda-tanda penunjuk yang tertinggal di beberapa titik. Penyelenggaraan lomba lari bertaraf internasional dengan rute melintasi beberapa jembatan seperti itu memang sangat sesuai diadakan di sana.

Perjalanan menuju ke Pulau Galang cukup memakan waktu. Kami tiba di lokasi saat hari sudah cukup siang.

Besar tarif masuk wisata pulau Galang

Di pulau ini tersimpan sejarah yang patut untuk diketahui. Aku pibadi sudah kali ketiga berkunjung ke tempat itu dan tak pernah merasa bosan. Letaknya yang cukup jauh dari pusat kota Batam tak menyurutkan pengunjung yang menggemari wisata sejarah untuk bertandang ke sini.

Kampung Vietnam Batam yang kini menjadi objek wisata, dahulu merupakan sebuah perkampungan yang dihuni oleh para pengungsi Vietnam asli. Wilayahnya cukup luas yakni sebesar 80 hektar.

Kawasan ini dikelilingi oleh pepohonan dan terdapat akses jalan beraspal mulus yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Sesekali terdengar kicauan burung bila kita membuka jendela mobil. Masih sangat asri dan terasa teduh. Suasana pun begitu hening saat mobil melaju pelan menyusuri jalan.

Sekelumit Kisah Manusia Perahu

Menurut sejarah, perang saudara yang meletus pada rentang tahun 1957-1975 menyebabkan dua kubu saling berseteru, yakni antara komunis (Vietnam Utara) dengan liberal (Vietnam Selatan). Perang mempertahankan ideologi tersebut makin memanas saat beberapa negara lain ikut bersekutu dengan masing-masing kubu.

Banyak sekali korban berjatuhan di dua kubu tersebut, hingga terjadilah eksodus besar-besaran dari warga Vietnam ke negara lain sejak tahun 1970-an. Usai berakhirnya perang, kedua kubu tadi bersatu pada tahun 1976.

Dengan hanya mengandalkan perahu kayu, para pengungsi mengarungi samudera tanpa tujuan. Banyak yang terombang-ambing hingga nasibnya berakhir di tengah laut karena kapal karam. Dan sedikit diantaranya berhasil mencapai daratan dan terdampar di Indonesia.

Sungguh pilu mendengar kisah tragis itu. Aku bergidik membayangkan betapa dahulu mereka tertindas oleh kekejaman tentara komunis Vietnam hingga nekat mengarungi lautan untuk melarikan diri.

Pulau Galang akhirnya menjadi tempat penampungan pengungsi yang jumlahnya mencapai 250.000 orang pada tahun 1975-1996. Mereka dibantu dan diberi makan oleh penduduk lokal dengan biaya dari UNHCR yang dananya berasal dari anggota PBB.

Kampung Vietnam kini tidak berpenghuni dan menjadi lahan kosong. Para pengungsi telah dipulangkan ke negara asalnya secara bertahap. Meski begitu, peninggalan-peninggalan di masa itu masih tetap dijaga dan dilindungi. Rumah-rumah yang telah rusak, barak, tempat ibadah, dan museum.

Humanity Statue

Sebuah patung yang dibuat oleh para pengungsi atas dasar simpati, memberi pertanda ada banyak kasus perkosaan di kampung ini. Seorang wanita Vietnam bernama Tinh Nhan diperkosa oleh tujuh pria sesama pengungsi di lokasi patung tersebut. Ia akhirnya gantung diri hingga tewas.

Humanity Statue di Galang

Patung Humanity Statue

Tingginya kasus bunuh diri di pengungsian terjadi karena beberapa sebab. Ada yang depresi dan jadi satu pernyataan sikap untuk menentang kebijakan memulangkan mereka ke Vietnam.

Di sekitar patung juga banyak terdapat monyet-monyet liar. Tak perlu khawatir karena monyet-monyet itu tidak berbahaya selama tidak diusik. Bila berniat untuk memberi mereka makan seperti buah atau kacang ya, silakan saja.

Keisengan dimulai sewaktu melihat perilaku monyet-monyet tadi. Mas Ismail sang presenter acara Uka-Uka dahulu di TPI spontan menjadi pengisi suara setiap kali melihat tingkah laku monyet yang dianggapnya aneh. Sontak kami yang berada di dalam mobil tergelak walau perut mulai terasa keroncongan lapar.

Monyet liar di pulau Galang

Anak monyet di pulau Galang

Nghia Trang Grave

Tak jauh dari Humanity Statue bisa ditemukan sebuah pemakaman pengungsi Vietnam yang menderita berbagai penyakit yang diderita selama berlayar berbulan-bulan, termasuk depresi mental yang melemahkan kondisi. Ada lebih dari 503 makam yang terdiri dari makam pengungsi Vietnam dan Kamboja yang beragama Kristen dan Budha.

Pemakaman pengungsi Vietnam Galang

Nghia Trang Grave di pulau Galang

Makam pengungsi Vietnam di Batam

Makam di pulau Galang

Jejak Sejarah Lainnya

Pengungsi Vietnam mengarungi lautan dengan perahu kayu. Dan untuk mengenang perjuangan mereka menemukan daratan, maka perahu yang mereka gunakan dulu dijadikan jejak sejarah. Dan karena kondisi kayu yang sudah semakin lapuk, kini perahu tersebut di tambal dengan semen dan dicat kembali.

Perahu kayu pengungsi Vietnam

Perahu yang membawa pengungsi Vietnam

Peninggalan bersejarah lain yang juga tak jauh dari lokasi kapal adalah bangunan yang menjadi markas Satuan Brimob yang bertugas di Ex-Camp, juga berfungsi sebagai tempat tahanan para pengungsi.

Tempat tahanan pengungsi Vietnam

Bekas tempat tahanan pengungsi Vietnam di Galang

Bekas markas satuan Brimob di pulau Galang

Di seberang tempat tahanan ini didirikan Museum yang menyimpan benda-benda seperti foto, dan lukisan peninggalan para pengungsi Vietnam. Tapi karena keterbatasan waktu, kali ini kami tak melihat-lihat ke dalam museum.

Selanjutnya terlihat bekas gereja katolik di sala satu sisi jalan. Bila menengok kembali sejarahnya, ternyata para pengungsi Vietnam memeluk agama yang berbeda-beda, yakni Budha, Kristen, juga Islam. Terbukti ada peninggalan lain berupa musala di tempat itu.

Gereja Katolik di pulau Galang

di gereja Katolik pulau Galang

Gereja Katolik eks pengungsi Vietnam

Mobil terus melaju pelan mengikuti jalan beraspal dan menemukan bangunan lain yaitu barak para pengungsi. Aku juga masih melihat sisa bangunan yang dulu menjadi bangunan PMI di tempat pengungsian.

Barak para pengungsi Vietnam di Galang

Pagoda Quan Am Tu

Satu-satunya bangunan yang hingga kini masih terus dipergunakan adalah Pagoda Quan Am Tu, yang merupakan tempat ibadah umat Budha. Berlokasi di tempat yang teduh, pagoda ini kelihatannya sedang mengalami perbaikan di sana-sini.

Gapura di Pagoda Quan Am Tu pulau Galang

Foto di Pagoda Quan Am Tu

di Pagoda Quan Am Tu Galang

Quan Am Tu di pulau Galang

Di tempat ini terdapat patung Dewi Guang Shi Pu Sha yang konon dipercaya bisa mendatangkan hoki, jodoh, dan keharmonisan dalam rumah tangga. Caranya dengan berdoa dan melemparkan koin ke arah Guang Shi Pu Sha.

di Pagoda Quan Am Tu pulau Galang

Pemandangan dari pagoda Quan Am Tu

Tentang Vietnam di Pulau Galang juga pernah ditulis oleh suamiku di blog pribadinya. Ia sudah berkali-kali datang ke sana sehingga cukup hapal dengan kawasan itu. Kisah yang dibalut sajian foto indah yang berbicara banyak bisa dibaca di laman blognya di bawah ini:

Baca juga : Vietnam di Galang (ditulis oleh suamiku, Bang Arman)

Keberadaan Kampung Pengungsi Vietnam menjadi saksi sejarah yang mengingatkan kita akan tragedi kemanusiaan yang menimpa warga Vietnam. Dan setiap kali mengunjungi tempat ini, aku coba membayangkan seperti apa kehidupan mereka saat itu.

Bertahun-tahun hidup di barak pengungsian tentu bukan sebuah pilihan hidup. Tetapi kondisi memaksa mereka untuk memutuskan kehidupan seperti apa yang kelak dijalani.

Makan Seafood di Kampung Tua Tiang Wangkang

Di sepanjang perjalanan dari Pulau Galang kembali menuju ke Jembatan 1 tak banyak pilihan tempat makan. Berdasarkan rekomendasi dari Abang pengendara mobil, maka kami pun singgah di Kelong Seafood Kopak Jaya 007.

Lokasinya berada Kampung Tua Tiang Wangkang tak jauh dari Jembatan 1 Barelang yang berjarak sekitar 5 menit berkendara dari jalan raya Trans Barelang. Memasuki kawasan ini kita disambut oleh gapura kuning. Di sekeliling lokasi terdapat rumah-rumah warga beserta pemandangan indah di salah satu sisi jalan.

Gapura Kampung Tua Tiang Wangkang

Pemandangan di Kampung Tua Tiang Wangkang

Restoran seafood Kopak Jaya 007 Batam

Restoran Kopak Jaya 007 merupakan tempat makan seafood yang letaknya menjorok ke laut. Bangunannya terbuat dari kayu beratap daun nipah yang bernuansa tradisional. Masuk ke dalam, di sisi kanan tampak sebuah perahu kayu, hiasan berupa kipas berwarna-warni dan aneka piring hias bercorak bunga.

Resto Kopak jaya 007

Untaian kerang beraneka warna yang terpasang di sepanjang jalan menuju restoran seolah ikut menyambut kedatangan pengunjung. Di sisi kanan kiri langsung terlihat pemandangan laut.

Masuk ke restoran Kopak Jaya 007

Jembatan di samping restoran Kopak Jaya 007

Suasana restoran Kopak Jaya 007

Makan seafood di Kopak Jaya 007 Batam

Kepiting di Restoran Kopak Jaya 007

Perut yang sudah sedari tadi bergemuruh ingin segera dimanjakan dengan olahan hidangan laut yang segar. Maka kami segera memesan beberapa menu beserta nasi putih. Dan untuk siang menjelang sore yang panas ini aku memesan air kelapa muda.

Saking laparnya, aku tak sempat memotret hidangan yang dipesan secara layak. Bahkan nama maupun harganya saja tidak terekam di ingatan. Hahaha. Ya sudahlah, yang pasti citarasa olahan menu-menu seafood di tempat ini patut diacungi jempol meski tidak terbilang murah juga.

Olahan udang di Restoran Kopak Jaya 007

Tumis kangkung di Restoran Kopak Jaya 007

Cumi goreng tepung di Kopak Jaya 007

Olahan ikan asam manis Kopak Jaya 007

Selain hidangan laut yang menggoyang lidah, Restoran Kopak Jaya 007 terasa istimewa karena pengunjung bisa duduk-duduk menikmati embusan angin dan pemandangan laut lepas lengkap beserta sunset-nya. Betah rasanya berlama-lama di sana. Dan untuk melengkapi foto cantik juga disediakan dua buah kursi berdesain unik.

Spot foto di Restoran Kopak Jaya 007 Batam

Kursi untuk berfoto di Kopak Jaya 007
Berfoto dengan latar belakang Jembatan 1 Barelang

Hari ini aku dan teman-teman sudah mampir ke tiga tempat sekaligus yang kebetulan berada di kawasan sama, yakni Barelang. Segala penat telah ditutup manis dengan menikmati hidangan laut di Batam.

Memang belum sah ke Batam kalau belum mencicipi seafood-nya yang terkenal. Tapi maaf, aku memang sengaja melewatkan makan Gonggong karena tidak ingin kolesterol naik. Hahaha.

Yuk, saatnya kembali ke pusat kota Batam dengan hati senang dan perut kenyang!

Baca sebelumnya : Kembali Menengok Batam

Baca juga : Bernostalgia di Kota Batam

 

 

 

8 thoughts on “Menyusuri Barelang hingga Kampung Pengungsi Vietnam dan Kopak Jaya 007

  1. Alfie belum pernah ke Kopak Jaya. Kemarin group kantor ada liputan disana, tapi ga bisa ikut kak.

    Monumen perahunya udah ga ada atap seng ya kak? Kemarin sempat ada. Liat photonya, seperti ga ada dilindungi seng.

    Pernah ke Jembatan 6 barelang kak? Diujungnya ada pantai Cakang. Bagus deh kalau air pasang. Trus ke pantai Vio vio itu dekat Kampung Vietnam. Lumayan bagus juga kalau sunset…

    Like

    • Kayaknya Kopak Jaya rada baru ya, Fie? Dua tahun lalu aku ke sana kok ngga tau😂. Oh ya sekarang monumen perahu udah ngga beratap lagi kayak dulu. Udah terbuka gitu aja dan disemen pula. Aku sama suami pernah ke Jembatan 6 sampai mentok laut. Tapi ntah kemana foto-fotonya, soalnya itu udah lama banget hahaha. Pantai Vio Vio kalau ga salah belum pernah ke sana🙂

      Like

  2. Membaca judulnya tadi saya kira lokasinya di Vietnam ternyata di Batam hehe. Tulisanmu sangat panjang mbak dan gambar olahan seafoodnya sungguh menggoda 😁

    Like

    • Kebetulan kisah eks pengungsi Vietnam yang terdampar di Pulau Galang, Mba😀. Sengaja nulis panjang biar sekalian yang baca paham sejarahnya. Dan iya seafoodnya mantap loh!

      Like

  3. Menarik sekali yah kak bisa melihat orang-orang Vietnam tidak perlu terlalu jauh. Aku pun belum pernah ke Batam nih padahal pengen juga menyusuri jembatan yang hits itu. Btw, penjual disana tidak membedakan harga untuk pendatang maupun pelancong warga lokal kak?

    Like

    • Kalau sekarang kampung itu udah kosong, Rin. Semua eks pengungsi Vietnam udah kembali ke asalnya. Bolelah main ke Batam hehehe. Aku nostalgia tiap ke sana karena memang pernah tinggal di Batam Center. Kalau harga makanan yang di Barelang sama aja untuk semuanya, ngga dibedain Rin🙂.

      Like

Yuk, silakan berkomentar disini. DILARANG meninggalkan link hidup di kolom komentar.

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s